- Dari segi kurikulum dan bekal agama
- Dari segi pelajaran Calistung
Saat saya menanyakan bagaimana tentang metode pelajaran TK, apakah anak akan diajarkan calistung?
- Dari segi keamanan lingkungan
- Tenaga Pengajar
- Transportasi
- Fasilitas Parkiran
Dari beberapa list tersebut sebenarnya saya masih agak kurang sreg, saya dan suami masih memiliki beda pandangan. Disatu sisi suami lebih condong anak-anak memilih sekolah A, dengan alasan jangan sampai kami merebut masa kecil anak-anak yang seharusnya digunakan bermain malah digunakan untuk menerima pelajaran yang berat.
Namun, saya sendiri masih keberatan dengan pilihan tersebut, karena menurut saya, pendidikan agama di sekolah A belum “sekental” di sekolah B. Atas dasar pertimbangan tersebut, beberapa hari berikutnya kami sepakat survey satu sekolah lagi yang menurut kami memiliki track record keren. Sebut saja sekolah C.
Di sekolah C, awalnya pihak sekolah yang menerima kami sepertinya mengira kami salah tujuan, karena beliau menanyakan, “ibu mau tanya tentang sekolah SD atau TK ya?”. Ketika saya menyebutkan, kami memang berniat survey sekolah SD, pihak sekolah yang menerima kami sempat tersenyum agak aneh. Mungkin kami dikira hanya iseng-iseng saja. Namun, setelah saya jelaskan bahwa tujuan saya survey sekolah lebih awal, adalah karena dikuatirkan kuota penerimaan sudah penuh beberapa tahun sebelum pendaftaran dibuka seperti yang pernah diceritakan oleh guru SD adik saya di sekolahannya.
Hal pertama yang saya tanyakan adalah tentang kurikulum tingkat SD nya. Dari info yang diberikan, sekolahan tersebut menggunakan 3 kurikulum, yaitu diknas, kurikulum sekolah tersebut (kebetulan sekolah tersebut memiliki link sekolah yang sama di kota lain), dan kurikulum luar negeri. Agak berat menurut saya.
Dengan alasan tersebut maka diharapkan siswa yang mendaftar di sekolah tersebut diharapkan sudah harus bisa membaca saat masuk. Tambahan lainnya menurut saya sekolah tersebut juga mengajarkan para siswanya untuk berkompetisi. Hal ini terlihat, ketika saya menanyakan apakah kurikulum tersebut tidak terlalu berat untuk para murid? Apakah anak-anak tidak stres? Ternyata menurutnya, selama ini tidak ada murid yang stres, mereka justru antusias “berlomba-lomba” belajar saat ada pemberitahuan pertukaran pelajar luar negeri.
Terkesan kurang adil sebenarnya jika saya memutuskan menyudahi survey saya kali itu tanpa melihat lebih jauh bagaimana lingkungannya. Meski sebenarnya salah satu visi misinya mirip dengan cita-cita keluarga kami agar anak-anak bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri, tapi mengingat kurikulum yang menurut kami sangat berat maka kami memutuskan undur diri.
Kami menyempatkan diri survey ke jenjang TK, dimana dari info yang kami dapat, di jenjang TK anak-anak memang tidak diajarkan calistung. Saya sebenarnya masih belum ada gambaran gimana nantinya ketika TK tidak diajarkan tapi saat mendaftar SD disarankan sudah bisa membaca.
Sekilas saya melihat lingkungannya, jika boleh jujur saya melihat para murid disana termasuk anak-anak dari kalangan menengah atas. Bagaimana tidak, jika salah satu sepatu yang digunakan muridnya saya kenali berharga lima ratus ribu. Saya agak menciut sebenarnya melihat hal tersebut, yang saya takutnya nanti anak saya akan terbawa kompetisi siapa yang lebih keren dengan teman-teman sekolahnya dalam hal fashion.
Ternyata beberapa hari kemudian saya mendapat info dari salah satu tetangga yang anaknya bersekolah disana, hal yang menurutnya membuatnya kurang sreg adalah komunitas ortu disana ada membentuk geng-geng an, dan tidak semua orang bisa masuk. Nice info sekali menurut saya, setidaknya saya ada gambaran bagaimana lingkungan sekolahnya.
Jadi dari tiga sekolah tersebut kami berdiskusi mana sekolah yang lebih baik untuk anak-anak saya? Seperti yang pernah saya sharingkan dengan mama enji, bahwa sekolah yang terbaik adalah sekolah yang memiliki visi misi yang sama dengan sekolah kita.
Tetapi biasanya tidak semua sekolah memiliki visi misi 100% sama seperti kita, jika sudah seperti itu maka kita bisa mencari sekolah dengan visi misi yang paling mendekati. Jika pun tak ada yang mendekati maka kita bisa mencari sekolah yang terbaik dari yang ada. Nanti apa yang kurang dari sekolah tersebut bisa kita tambahkan dari luar jam sekolah.
Seperti yang selalu ditekankan oleh mama Enji, intinya jangan lupa rumah adalah madrasah utama anak, sehingga anak adalah tanggung jawab utama orang tua, jangan sampai kebalik, dengan merasa sekolah yang kita pilih baik lantas membenarkan kita untuk pasrah urusan anak kepada sekolah. Tidak ada yang lebih bertanggung jawab atas anak kita kecuali kita sebagai orang tua nya.
Sehingga seandainya harus memilih sekolah negeri pun juga tak ada yang salah. Nanti bagaimana tugas kita sebagai orang tua agar bisa membekali anak-anak dengan bekal ilmu agama yang kuat dari rumah. Untuk urusan cita-cita atau goal mereka, menurut mama Enji saya tak perlu kuatir, selama saya bisa mensupport anak-anak untuk bisa menemukan potensi dan jati dirinya, maka anak-anak akan bisa bertahan di manapun berada dalam segala situasi.